Prabowo adalah salah satu nama yang akan maju sebagai calon
presiden(capres). Karena posisi presiden di RI, sesungguhnya lebih
berkuasa daripada presiden Amerika Serikat maupun Rusia. Sehingga mereka
yang menjadi presiden haruslah orang yang tepat, siapapun orangnya.
Kalau tidak, bisa-bisa Indonesia semakin hancur dan tidak mustahil
terjadi Balkanisasi. Tulisan ini bukan sebagai kampanye, karena saya
bukan kader Partai Gerindra, namun hanya untuk mengulas mengenai sosok
Prabowo Subianto yang kontroversial dari sudut pandang yang sedikit
berbeda. Tujuannya adalah agar masyarakat mendapatkan informasi yang
lengkap dan berimbang tentang calon pemimpin yang akan dipilihnya
termasuk Prabowo. Mengingat begitu krontroversial dan banyaknya
disinformasi mengenai tokoh yang satu ini.
Prabowo
lahir di Jakarta 17 Oktober 1951. Beliau adalah mantan Danjen Kopasus
(Komandan Jenderal Komando Pasukan Kuhusus), pengusaha sukses, politisi,
dan calon presiden 2014. Prabowo adalah putra dari begawan ekonomi
Indonesia, Soemitro Djojohadikusumo. Beliau juga cucu dari Raden Mas
Margono Djojohadikusumo yang merupakan anggota BPUPKI (Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan juga merupakan pendiri
Bank Nasional Indonesia (BNI). Dari silsilahnya tampak bahwa Prabowo
memiliki “darah biru” elit pemimpin Indonesia. Bahkan jauh sebelum
republik ini lahir.
Prabowo menikahi Titiek, putri
Presiden Soeharto. Saat ini, Titiek sendiri menjadi calon anggota
legislatif dari Partai Golongan Karya (Golkar). Keputusan yang tampak
prospektif saat itu namun menjadi blunder dalam hidupnya dikemudian
hari. Dengan latar belakang keluarga intelektual, Prabowo mewarisi
kecerdasan ayahnya. Beliau dikenal sangat cerdas di sekolah maupun di
AKABRI (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Meski beliau
adalah alumnus AKABRI (1974), namun tidak banyak yang tahu bahwa setelah
lulus SMA, Prabowo juga diterima di American School In London, Britania
Raya.
Karirnya dibidang militer terbilang sangat
cemerlang dan membanggakan. Karir militer Prabowo termasuk yang tercepat
dalam sejarah ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Prabowo
bahkan sempat disebut sebagai “The Brightest Star”. Dialah jenderal termuda yang meraih 3 bintang pada usia 46 tahun.
Sebagai
sesama orang militer, Prabowo bisa dianggap sebagai “antitesa” dari
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mungkin karena karir beliau yang banyak
diisi dengan penugasan di satuan tempur. Meski sama-sama merupakan “The Rising Star”
di tubuh ABRI saat itu, SBY lebih dikenal sebagai perwira
intelektualnya ABRI. Berbeda dengan SBY yang cenderung analitis dan
berhati-hati dalam mengambil keputusan, sebagai perwira lapangan Prabowo
cenderung cepat, take action. Saat keputusan sudah dibuat
Prabowo akan menjalankannya dengan penuh “determinasi”. Beliau siap
menanggung segala konsekuensinya.
Salah satu
contohnya adalah perihal peristiwa penculikan aktivis yang telah
mencoreng nama baik dan menjadi penyebab kehancuran karir militernya.
DKP (Dewan Kehormatan Perwira) yang menyelidiki kasus ini tidak pernah
mngungkapkan hasil pemeriksaannya kepada publik. Tidak juga kepada
Prabowo yang notabene menjadi tertuduhnya. Tampaknya Wiranto sengaja
mengambil manfaat agar prasangka publik menghukum Prabowo lebih berat
daripada “dosanya”. Meski Prabowo berikeras mengatakan tak pernah
perintahkan. Namun beliau mengambil alih tanggung jawab anak buahnya.
“Saya ambil alih tanggung jawabnya.” Begitu kata beliau saat itu. Sikap
yang harus dibayar mahal dengan hancurnya karir militer yang gilang
gemilang, namun juga menunjukkan kualitas kepemimpinan Prabowo. Jika
Prabowo benar bersalah, mengapa justru korban-korban penculikan seperti
Pius L Lanang dan Desmond J Mahesa justru menjadi pengurus Partai
Gerindra?
Meski begitu, kualitas kepemimpinan
Prabowo justru sudah teruji di saat-saat paling kritis yang pernah
dialami negeri ini. Bagi mereka yang lelah dengan kepemimpinan yang
lemah, lama mengambil keputusan, selalu terkesan ragu-ragu tampaknya
Prabowo adalah jawabannya. Bagi mereka yang muak dengan pemimpin yang
sibuk selamatkan diri sendiri saat ada masalah maka Prabowo adalah
pilihan yang patut dipertimbangkan. Dibanding memilih mengorbankan anak
buahnya, Prabowo memilih untuk ambil alih tanggung jawab dan menanggung
sendiri resikonya. Seorang kapten kapal yang baik bukanlah yang pertama
selamatkan diri saat kapal tenggelam, tetapi justru yang terakhir.
Seperti terlihat dalam film Titanic, ketika kapal sudah mulai
tenggelam, kapten kapal memastikan semua penumpang selamat, dan akhirnya
dirinya sendiri gagal selamat. Sayang, karir militer Prabowo yang
gilang gemilang itu berakhir dengan cara yang kurang mengenakkan. Bahkan
bisa dikatakan memilukan.
Prabowo bisa dikatakan
pihak yang dikalahkan dalam proses perebutan kekuasaan dan pengaruh di
tubuh militer pada masa-masa kritis tahun 1998. Berbicara tentang
Prabowo kita tidak bisa lepas dari peristiwa kelam Mei 1998 yang
mencoreng nama bangsa Indonesia selamanya. Sebagai pihak yang kalah
Prabowo menjadi “kambing hitam” dari semua kejadian tersebut. Seperti
kata pepatah, tinta sejarah adalah milik pemenang. Ini tentu
saja berpotensi menjadi pengganjal pencapresannya. Stigma sebagai
“penjahat kemanusiaan” pasti akan dimanfaatkan sebagai senjata
lawan-lawan politiknya untuk menjatuhkan Prabowo. Jika memang benar
Prabowo adalah tokoh yang bertanggung jawab terhadap peristiwa itu maka
dia sudah menerima segala hukumannya. Bayangkanlah perasaan Prabowo yang
karir gemilangnya di dunia militer yang begitu dicintainya itu harus
berhenti dengan sejuta rasa malu dan aib. Lalu bagaimana jika semua itu
tidak benar? Layakkah Prabowo tersandera oleh prasangka tanpa bukti?
Lantas layak pulakah bangsa Indonesia kehilangan kesempatan untuk
dipimpin oleh putra terbaiknya?
Jauh sebelum
peristiwa Mei 98 proses penghancuran nama baik Prabowo sudah terjadi.
Semua berawal dari rivalitas antara Prabowo dan Wiranto. Ketidak
harmonisan Prabowo dan Wiranto memang sudah berlangsung sejak lama.
Mungkin karena latar belakang keduanya yang jauh berbeda. Prabowo yang
kosmopolitan cenderung memiliki pola pikir yang terbuka. Sementara
Wiranto dengan latar belakang Jawa yang sangat kental lebih tertutup.
Namun Prabowo yang terbiasa dengan persaingan terbuka sejak kanak-kanak
menganggap rivalitas semacam itu sebagai hal biasa dan tidak dijadikan
personal. Berbeda dengan Wiranto yang berlatar belakang sangat “Jawa
Tradisional” itu, dia lebih mirip dengan Soeharto dalam menyikapi suatu
rivalitas. Lihat saja nasib yang menimpa pesaing-pesaing Soeharto yang
mengganggu karir militer atau politiknya di masa lalu. Jika tidak mati,
membusuk di penjara. Salah satu contohnya adalah kawan saja, Fadjroel
Rachman, yang sempat mendekam di Nusa Kambangan dan kehilangan
teman-temannya. Fadjroel sendiri akhirnya bebas ketika Habibie menjadi
presiden.
Indikasi ketidaksukaan Wiranto terlihat
dengan absennya beliau sebagai Pangab (Panglima ABRI) dalam acara serah
terima Pangkostrad Letjen Soegiono kepada Prabowo. Begitu juga saat
pemberhentian secara hormat Prabowo sebagai perwira militer. Beliau
mencopot tanda-tanda pangkat Prabowo dengan satu tangan saja. Proses
berakhir secara paksanya karir militer Prabowo memang tidak bisa
dilepaskan dari rivalitas perwira muda dan perwira tua. Prabowo sebagai
gambaran perwira muda tentu saja menjadi sasaran tembak utama saat itu.
Posisi Prabowo saat itu benar-benar terjepit. Di satu sisi dia adalah
menantu penguasa yang sedang menjadi sasaran sentimen negatif rakyat. Di
sisi lain akibat manuver Wiranto dkk, Soeharto yang masih punya
pengaruh justru membencinya sampai ke ubun-ubun. Sampai-sampai kepada
penggantinya Habibie, beliau menyampaikan pesan khusus untuk
“mengamankan” Prabowo. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Semua tidak
terlepas dari peristiwa Mei yang mengerikan itu. Peristiwa yang hingga
kini masih menghantui republik ini.
Ada 3 tuduhan
utama yang diarahkan kepada Prabowo, yaitu: Penculikan akitivis,
penembakan mahasiswa Trisakti, dan dalang kerusuhan Mei 1998. Tidak
satupun tuduhan tersebut yang terbukti. Seandainya Prabowo bersalah
bukankah Pangab saat itu Wiranto? Bukankah sebagai panglima beliau yang
seharusnya paling bertanggung jawab? Mengapa hingga saat ini Prabowo
tidak pernah diberitahu tentang hasil penyelidikan DKP sehingga tidak
bisa membela diri? Mengenai penembakan mahasiswa Trisakti, Wiranto juga
terkesan sengaja ‘buying time’ dengan tidak mengusut
kasus ini secara cepat. Akibatnya tuduhan kembali ke Prabowo, yang jadi
bulan-bulanan opini publik, dicurigai sebagai orang dibalik penembakan
itu. Meski banyak sekali keanehan terhadap tuduhan ini namun fitnah
sudah mencapai sasaran. Dan sekali lagi Prabowo terlanjur menjadi
pesakitannya. Tuduhan mengarahkan Prabowo di balik penembakan, dengan
konspirasi anggota kopasus memakai seragam Polri sebagai pelaku
penembakan snipper. Teori konspirasi ini tidak pernah terbukti,
karena peluru snipper diatas 7 mm dan proyektil peluru tertanam di
korban kaliber 5,56 mm. Sementara korban dipilih secara acak. Kalau snipper
akan memilih misalnya pemimpin demo atau target pilihan. Lima hari
setelah insiden Trisakti, Prabowo datang ke rumah Herry Hartanto. Di
bawah Alquran dia bersumpah. Di depan Syaharir Mulyo Utomo orang tua
korban, “Demi Allah saya tidak pernah memerintahkan pembantaian
mahasiswa.”
Perihal keterlibatan Prabowo atas
penembakan mahasiswa Trisakti, tanggal 14 Mei terjadi pertemuan di
Makostrad (Markas Komanda Staf Angkatan Darat) atas inisiatif Setiawan
Djodi. Pertemuan antara Prabowo dan tokoh masyarakat, antara lain: Adnan
Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Fahmi Idris, Bambang Widjoyanto. Dalam
pertemuan itu Prabowo ditanya tentang keterlibatannya. Prabowo
menjawab, “Demi Allah saya tidak terlibat, saya di set-up.”
Menurut Buyung terlihat jujur. Peristiwa selanjutnya semakin memperkuat
ketidak terlibatan Prabowo atas peristiwa penembakan mahasiswa
tersebut. Puspom ABRI Sjamsu Djalal menghadapi kesulitan memaksa Kapolri
Dibyo Widodo untuk menyerahkan anggotanya yang dicurigai terlibat.
Disinilah peran Wiranto terlihat.
17 hari setelah
insiden itu berlalu baru Wiranto memanggil Dibyo untuk memerintahkan
untuk menyerahkan anggota. Itupun anggota diserahkan ke Polda bukan ke
POM ABRI. Padahal Polri saat itu masih menjadi bagian ABRI dan Pangabnya
adalah Wiranto. Sementara senjata sebagai barang bukti baru diserahkan
tanggal 19 Juni 98. Hampir satu bulan sejak peristiwa terjadi. Kelak
tahun 2000, uji balistik di Belfast, Irlandia membuktikan bahwa peluru
berasal dari anggota Polri unit gegana. Siapa sesungguhnya dibalik
pristiwa itu? Siapa yang beri perintah? Jelas bukan Prabowo yang sebagai
Pangkostrad tidak punya jalur komando ke Polri. Dalam militer, garis
komando benar-benar diterapkan. Bagaimana dengan tuduhan Prabowo sebagai
otak dibalik kerusuhan Mei 98? Benarkah dia yang bertanggung jawab atas
peristiwa tersebut? Atau kembali lagi beliau dikorbankan akibat proses
perebutan kekuasaan terselubung diantara para elit militer saat itu?
Apakah benar kerusuhan tersebut terjadi karena spontanitas atau ‘crime by omission’ (kejahatan karena pembiaran) atau bahkan ‘terror by design’ (teror yang didesain)?
Mari
kita kembali ke zaman yang tidak mengenakkan itu. Kadang untuk mencari
kebenaran sejarah kita butuh “mesin waktu”. Tampaknya kita harus
memanggil Doraemon ke sini sekarang. Kita juga membutuhkan testimoni
para pelakunya yang saat ini masih hidup bahkan sedang berkuasa. Sedikit
dari kita yang mengetahui apa peran SBY dalam proses pergantian
kekuasaan saat itu. Padahal beliau juga cukup berperan. Sudah menjadi
kepercayaan umum bahwa penembakan mahasiswa Trisakti mengakibatkan
terjadinya kerusuhan besar-besaran. Benarkahkah demikian? Bukti-bukti
menunjukkan bahwa kerusuhan Mei 98 itu bukanlah spontanitas kemarahan
warga akibat peristiwa Trisakti. Adakah rekayasa pihak tertentu atau
setidaknya pembiaran sehingga peristiwa itu bisa terjadi? Mari kita
lihat secara jernih bukti-bukti yang ada.
Satu
peristiwa yang bisa dijadikan kunci keterlibatan Wiranto pada peristiwa
tersebut adalah kepergiannya ke Malang saat ibukota sedang
genting-gentingnya. Sebab Wiranto sudah tahu akan ada kerusuhan di
ibukota, tetapi tetap bersikukuh untuk pergi ke Malang. Acara di Malang
adalah serah terima PPRC dari Divisi I ke Divisi II. Wiranto menjadi
Inspektur upacara (irup) nya. Sebenarnya itu adalah acara rutin yang
bisa diwakilkan. Bayangkan, untuk serah terima Pangkostrad saja dia bisa
berhalangan hadir. Bagaimana mungkin dalam kondisi ibukota yang genting
dia sebagai pemegang kunci komando lebih memilih jadi irup acara
seremonial seperti itu? Sangat tidak bisa diterima akal sehat. Apalagi
mengingat tanggal 13 Mei malam Wiranto memimpin rapat Garnisun Jakarta
untuk menanyakan situasi terakhir. Lebih mencurigakan lagi bahwa Kasum
TNI Fahariur Razi saat itu sudah ditunjuk Pangkostrad Prabowo menjadi
irup di Malang. Tetapi sekonyong-konyong diambil alih oleh Wiranto.
Suatu kebetulan atau kesengajaan? Mungkinkah Wiranto sebagai Pangab
tidak tahu menahu kondisi Jakarta? Dalam kondisi ibukota terjadi
kerusuhan Wiranto malah pergi ke Malang dengan mengajak
komandan-komandan seperti Danjen kopasus, komandan Marinir, dll. Lebih
mencurigakan lagi sebenarnya Prabowo sudah brulang kali menghubungi
Wiranto untuk membatalkan kepergiannya. Wiranto menjawab “Show must goon”. Ini mirip dengan Soeharto tahu akan gerakan 30 September namun sengaja tidak melakukan tindakan apapun untuk mencegahnya.
Sebelumnya,
saat situasi makin mengarah rusuh 12 Mei 1998 Panglima TNI Wiranto
tidak memerintahkan pasukan untuk berada di Jakarta. Atas permintaan
Pangdam Jaya yang mendapat perintah dari Mabes ABRI, Pangkostrad Prabowo
kemudian membantu pengamanan ibukota. Pangkostrad Prabowo kemudian
membantu Pangdam Jaya dengan mendatangkan pasukan dari Karawang,
Cilodong, Makasar, dan Malang untuk membantu Kodam. Tetapi sekali lagi
Wiranto tidak mau memberi bantuan pesawat Hercules sehingga Prabowo
mencarter sendiri pesawat Garuda dan Mandala. Seharusnya jika negara
dalam keadaan genting seperti itu panglima wajib mengambil alih komando
dan secara fisik wajib berada di lokasi. Tetapi yang terjadi justru
tidak terlihat sedikitpun i’tikad baik Wiranto untuk mencegah terjadinya
kekacauan yang menelan korban hingga ribuan orang tersebut. Anehnya
justru belakangan kubu Wiranto yang melemparkan kesalahan kepada Prabowo
yang dianggap mengakibatkan kerusuhan itu. Bukankah Wiranto sudah
menggelar rapat Garnisun tanggal 13 Mei untuk menanyakan situasi
terakhir? Apakah Zaki Anwar Makarim sebagai ketua Badan Intelijen ABRI
tidak pernah mengingatkan Wiranto akan ada kerusuhan? Bukankah Prabowo
sendiri sudah mengingatkan Wiranto akan terjadi kerusuhan dan
mencegahnya pergi ke Malang? Mengapa Wiranto tidak bergeming? Lantas apa
sebenarnya tujuan Wiranto membentuk Pam Swakarsa?
Pam
Swakarsa ini rencananya akan dipakai sebagai perlawanan kalangan sipil
terhadap demo yang semakin menjadi-jadi saat itu. Untuk Pam Swakarsa
sendiri, memiliki produk “unggulan” yaitu Front Pembela Islam (FPI) yang
kemudian direspon oleh hadirnya Jaringan Islam Liberal (JIL). Namun
belakangan dicurigai bahwa justru Pam Swakarsa inilah salah satu
penyulut kerusuhan Mei tersebut. Jauh sebelum peristiwa Mei terjadi,
mantan Kakostrad Kivlan Zein bersaksi bahwa dialah yang diperintahkan
Wiranto untuk membentuk Pam Swaraksa. Mengapa Wiranto menolak permohonan
bantuan Hercules Prabowo sehingga dia harus mencarter sendiri pesawat
Garuda dan Mandala? Mengapa saat Prabowo mengerahkan pasukan untuk
berusaha menghentikan penjarahan “sistematis” toko-toko, justru Panglima
TNI melalui Kasum Fahariur Razi malah melarang pengerahan pasukan untuk
membantu Kodam Jaya? Mengapa panser-panser dan pasukan yang sudah siap
saat itu tidak bisa bergerak karena menunggu perintah yang tidak kunjung
datang? Keragu-raguankah atau kesengajaan? Yang jelas akibatnya ribuan
nyawa melayang sia-sia, ratusan wanita diperkosa, aset-aset pribadi
dibumi hanguskan.
Bukti lain semakin mengarah
kepada Wiranto sebagai dalang sesungguhnya dari kerusuhan Mei 98 dari
pengakuan mantan Ka Puspom ABRI Sjamsu Djalal. Melihat kondisi ibukota
yang semakin tidak terkendali, beliau menyarankan untuk memberlakukan
jam malam. Namun Wiranto tidak bergeming. Artinya ada lebih dari satu
orang yang memberi peringatan kepada Wiranto saat itu. Jadi keputusannya
berangkat ke Malang adalah bagian dari “rencana”. Makin terkuak disini
bahwa Prabowo yang justru berupaya mengamankan situasi malah dijadikan
kambing hitam sebagai pelaku kudeta.
Pertanyaan
selanjutnya adalah, benarkah kerusuhan Mei itu murni spontanitas warga
atau karena rekayasa dalam kaitan perebutan kekuasaan saat itu? Mengenai
pembentukan Pam Swakarsa, Kivlan Zein sudah memberi testimoni bahwa itu
adalah bentukan Wiranto. Dia yang ditugasi perintah pembentukan Pam
Swakarsa diberikan oleh Wiranto. Dia panggil Kivlan Zein untuk meminta
dana dari Setiawan Djodi. Pertemuan ini diatur oleh Jimmly Asshidiqie.
Dalam pertemuan tersebut Wiranto mengatakan ini perintah Habibie. Jimmly
akrab dengan Habibie dalam ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).
Kerusuhan yang terjadi karena spontanitas biasanya meluas dengan
menjalar. Tidak serempak dimulai di seluruh penjuru kota dalam waktu
yang bersamaan. Satu-satunya jawaban yang bisa diterima akal sehat
adalah bahwa kerusuhan itu terjadi “by design”, dimulai
berdasarkan komando pihak-pihak tertentu. Mengapa pada pagi hari tanggal
14 Mei ada pasukan dari Solo diterbangkan ke Jakarta dan mendarat di
Halim? Disaat yang sama kerusuhan terjadi bersamaan antara Jakarta dan
Solo. Semua terjadi pada pagi hari di waktu yang persis bersamaan. Tidak
ada jeda. Seolah-olah mengisyaratkan bahwa kerusuhan di kedua kota ini
sudah direncanakan matang sebelumnya dan dibawah komando yang sama.
Disaat massa mulai menjarah di Jakarta disaat yang sama kejadian serupa
terjadi di Solo. Modusnya sama persis. Jika kerusuhan itu spontanitas,
mengapa dimulai secara serempak di berbagai penjuru Jakarta sekaligus
Solo?
Di salah satu pertokoan, ada kesaksian
seorang ibu yang mencari anaknya yang ikut masuk ke Jogja Plaza karena
disuruh seseorang. Tetapi dilantai 2 ditampar dan disuruh keluar dan
akhirnya keluar sebelum pintu ditutup dari luar. Kita tahu akhirnya
Jogja Plaza dibakar. Mungkinkah mahasiswa atau penduduk urban sengaja
memasukkan massa ke dalam gedung lalu membakarnya dari luar? Atau ada
pihak tertentu yang sengaja memobilisasi massa supaya terjadi kondisi
kekacauan yang memungkinkan pihak-pihak tertentu ambil peranan?
Sebagaimana yang kita ketahui selanjutnya, kondisi kacau itu sendiri
akhirnya mempercepat proses jatuhnya Soeharto dari tampuk kekuasaan.
Lalu siapakah yang diuntungkan dari jatuhnya Soeharto? Adakah Wiranto
dkk atau Prabowo? Yang jelas sesaat setelah lengsernya Soeharto, Wiranto
sebagai Pangab dengan mudahnya menghancurkan karir militer Prabowo.
Dengan
tidak mengurangi rasa hormat kepada aktivis mahasiswa 98, disini
disampaikan bahwa sesungguhanya kejatuhan Soeharto bukan karena demo.
Tetapi lebih karena pengkhianatan para elit, baik sipil maupun militer
yang mana mereka sesungguhnya bagian dari kroni Soeharto sendiri.
Peristiwa jatuhanya Soeharto dari kekuasaanya itu sendiri lebih tepat
dikatakan hasil dari sebuah kudeta halus (soft coup) yang memanfaatkan demonstrasi mahasiswa yang merebak dimana-mana sebagai “pemicu”nya.
Rupanya
dalam suasana genting jatuhanya kekuasaan Soeharto itu diwarnai pula
oleh rivalitas yang muncul ke permukaan diantara para perwira ABRI.
Akibat lemahanya kepemimpinan Wiranto sebagai Pangab ditambah suasana
yang tidak menentu. Masing-masing perwira berusaha mencari manfaat atas
situasi tersebut. Para perwira berusaha “berinvestasi” pada masa depan
masing-masing, setidaknya mengamankan posisi mereka masing-masing. Pada
saat itu terlihat jelas di tubuh ABRI sendiri tidak solid dibawah satu
komando. Masing-masing punya agenda sendiri-sendiri dan saling curiga
satu sama lain.
Salah satu contohnya adalah adanya
siaran pers dari puspen (pusat penerangan) ABRI menjelang berakhirnya
kekuasaan Soeharto. Siaran pers yang walau dibantah langsung oleh
Wiranto namun turut mempercepat proses lengsernya Soeharto. Salah satu
isi dari rilis tersebut adalah dukungan terhadap sikap PBNU (Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama) yang mendukung Presiden Soeharto lengser.
Sebenarnya itu bukan merupakan rilis resmi ABRI karena tidak memakai kop
surat dan tidak ditanda tangani. Menurut Makodongan, siaran pers
dukungan terhadap sikap PBNU itu dibuat oleh Mardianto dan Kasospol saat
itu, SBY. Meski tengah malam itu juga Wiranto membangunkan seluruh
perwira untuk menarik rilis itu dari seluruh media massa agar tidak
diterbitkan. Namun sudah terlanjur beredar dan Soeharto yang tahu
tentang ini semakin kehilangan perspektif terhadap kondisi lapangan,
terutama mengenai dukungan ABRI. Kejadian ini semakin memperburuk
hubungan Prabowo dan Wiranto karena dia menganggap Prabowo-lah yang
mengadukan ini ke Presiden.
Tanggal 18 Mei Harmoko
yang selalu menjilat Soeharto akhirnya menjadi “Brutus” dengan meminta
beliau secara arif dan bijaksana untuk mundur. Sikap Harmoko ini cukup
mengejutkan mengingat keberadaannya sebagai Ketua DPR/MPR adalah
semata-mata untuk mengamankan kekuasaan Soeharto. Sebelumnya dia selalu
langganan dipilih sebagai menteri oleh Soeharto. Bisa dikatakan dia
memperoleh segala-galanya karena Soeharto. Namun karena desakan
mahasiswa dan tokoh masyarakat akhirnya dia memilih untuk menyelamatkan
diri sendiri. Namun begitu pernyataan pemimpin DPR/MPR itu, disambut
gegap gempita oleh mahasiswa yang menduduki gedung DPR dan masyarakat
seluruh Indonesia. Tetapi kegembiraan itu tidak berlangsung lama karena
sekitar pukul 23:00 WIB Wiranto menyampaikan bahwa ABRI menolak
pernyataan Harmoko itu.
Melihat situasi yang
semakin tidak menguntungkan kekuasaannya sebenarnya Soeharto sudah
berniat mundur dari jabatannya. Namun dia ingin memastikan pasca
mundurnya dia sebagai presiden tidak ada kekacauan yang membuka peluang
bagi militer untuk berkuasa. Tanggal 19 Mei dibuatlah pertemuan dengan
beberapa tokoh masyarakat, seperti Gus Dur, Nurcholis Madjid, Emha Ainun
Nadjib, dll, minus Amien Rais. Dalam pertemuan tersebut Soeharto
menyatakan akan membentuk Kabinet Reformasi yang akan menyiapkan pemilu.
Sementara itu menjelang rencana Amien Rais yang akan mengumpulkan massa
di Monas tanggal 19 Mei, Wiranto mengadakan rapat di Mabes. Dalam rapat
yang dihadiri para perwira tinggi militer itu kembali muncul perbedaan
antara Prabowo dan Wiranto. Dalam rapat itu Wiranto mengatakan bahwa
perintah yang dibuat adalah mencegah masuknya pendemo dengan segala cara
(at all cost). Prabowo bertanya berulang-ulang apa maksud
perintah itu? Apakah akan digunakan peluru tajam? Pertanyaan tersebut
tidak dijawab dengan jelas oleh Wiranto. Kivlan Zein menggelar tank dan
panser dengan perintah, “Lindas saja mereka yang memaksa masuk Monas!”
Kivlan Zein meminta Prabowo agar Amien Rais membatalkan rencana demo
sejuta umat di Monas. “Dari pada saya dimusuhi umat Islam lebih baik
saya tangkap Amien Rais” kata Kivlan. Akhirnya Amien Rais membatalkan
rencana demo di Monas.
Saat menghadapi Habibie,
Prabowo berkata, “Pak, bapak sepuh mungkin akan lengser siapkah anda
menggantikannya?” Bapak sepuh adalah sapaan Prabowo kepada Soeharto yang
saat itu menjadi mertuanya. Selanjutnya Prabowo meminta Habibie untuk
mempersiapkan diri. Disini terlihat bahwa Prabowo merasa tidak punya
masalah dengan Habibie. Jika kita membaca ulang berita-berita media jauh
sebelumnya, juga tampak jelas hubungan kedua tokoh ini sangat akrab.
Berulang kali Prabowo menyampaikan kekagumannya pada Habibie, begitu
juga sebaliknya. Prabowo yang berhasil meredakan situasi merasa akan
mendapat pujian. Maka datanglah dia ke Cendana. Tapi celaka, disitu
sudah ada kelompok Wiranto yang duduk bersama-sama dengan Soeharto dan
putra-putrinya. Rupanya disitu Wiranto “mengadukan” tentang manuver
Prabowo yang mengindikasikan dia runtang-runtung
dengan Habibie dan para aktivis. Saat dia tiba, Mamiek langsung
menghardik Prabowo dengan kasar sambil mengacungkan telunjuk hanya satu
inci dari hidung Prabowo. Sambil berkata, “Kamu pengkhianat! Jangan
injakkan kakimu di rumah saya lagi!” Prabowo keluar menunggu sambil
bilang, “Saya butuh penjelasan”. Titiek –istri Prabowo- hanya bisa
menangis, lalu dia pulang. Saat itu sesungguhnya Prabowo sudah
dikalahkan, kalah oleh lobi dan pendekatan Wiranto yang meyakinkan.
Dalam kondisi gamang seperti itu memang Soeharto sangat rentan menerima
informasi yang dipelintir. Hal yang sama akan terulang kembali pada
Habibie. Kali ini Wiranto sendiri mengakui ada informasi yang salah
ditangkap Habibie dari dirinya.
Sementara itu
Habibie yang merasa terancam dengan rencana pembentukan Kabinet
Reformasi mengeluarkan kartu As-nya. Dia dan 14 menteri ekuin di bawah
Ginandjar Kartasasmita menyampaikan keberatannya untuk menjadi bagian
dari Kabinet Reformasi. Soeharto merasa benar-benar terpukul atas
kejadian terakhir ini karena merasa ditinggalkan. Apalagi diantara
mereka ada yang dianggap sebagai orang-orang yang dia “selamatkan”.
Malam itu Soeharto terlihat gugup dan bimbang. Suatu kejadian langka.
Namun disaat-saat penuh kekecewaan itu hadir sahabat-sahabat sejati yang
menunjukkan kesetiaannya. Malam itu hadir di Cendana para mantan wapres
menyampaikan dukungannya; Umar Wirahadikusuma, Sudharmono, Try
Sutrisno. Sekitar pukul 23:00 WIB Soeharto memanggil Yusril Ihza
Mahendra, Saadilah Mursayaid, dan Wiranto. Beliau menyampaikan bahwa
besok akan menyerahkan kekuasaan kepada Habibie. Esok paginya, Harmoko,
Syarwan Hamid, Abdul Gafur, Fatimah Ahmad, dan Ismail Hasan Metareum
menemui Soeharto di ruang Jepara.
“Ada dokumen lain lagi?” Tanya Soharto.
“Tidak Pak.” jawab Harmoko.
“Baik kalian tunggu saja disini, saya akan melaksanakan pasal 8 UUD 45.” Tutur Soeharto.
Di Credential Room Soeharto
bertemu Habibie tetapi Soeharto melengos. Soeharto sangat sakit hati
dengan murid kesayangannya ini. Selesai menyampaikan pidato pengunduran
dirinya, dia menyalami Habibie dan kembali ke ruang Jepara. Kepada para
pimpinan DPR/MPR itu dia berkata, “Saya sudah bukan presiden lagi”. Mbak
Tutut sembab matanya karena menangis. Harmoko melongo. Pagi itu adalah
pertemuan terakhir Soeharto dan Habibie. Bahkan saat kritis menjelang
ajalnyapun Habibie dilarang menemui Soeharto.
Hubungan
Soeharto dan Habibie adalah hubungan panjang dua manusia yang berhasil
menjadi pemimpin negeri ini. Soeharto sudah mengenal Habibie sejak
Habibie masih anak-anak. Bahkan saat ayah Habibie meninggal Soeharto-lah
yang menyolatkannya. Soeharto-lah yang menutupkan mata ayah Habibie
saat meninggal dunia. Bahkan dalam buku biografinya Soeharto tidak
segan-segan menunjukkan kepercayaan dan rasa sayangnya terhadap Habibie.
Soeharto pula yang mengirim utusan untuk menjemput Habibie di Jerman
untuk kembali ke Indonesia. Kita belajar dari sini. Bagaimana demi
kedudukan hubungan umat manusia yang begitu dalam mampu dikorbankan.
Sekitar
pukul 23:00 WIB Prabowo dan Muhdi bertemu dengan Habibie di kediamannya
untuk memberi dukungan pada presiden baru. Namun keesokannya pada
tanggal 22 Mei, selesai Sholat Jumat Prabowo mendapat kabar mengejutkan.
Bagai petir di siang bolong, Prabowo di Makostrad ditelepon Mabes AD,
diminta menanggalkan benderanya. Perintah itu tak lain artinya bahwa
jabatannya dicopot. Prabowo mengingat perkataan Habibie jauh sebelumnya,
“Prabowo, kapan pun kamu ragu temui saya, jugan pikirkan protokoler!”
Maka Prabowo menemui Habibie yang sudah menjadi presiden dan berkata,
“Ini penghinaan bagi keluarga saya dan keluarga mertua saya.” Habibie
menjelaskan kalau dia mendapatkan laporan dari Pangab bahwa ada gerakan
pasukan Kostrad menuju Jakarta, Kuningan, dan istana. Prabowo minta
setidaknya 3 bulan di Kostrad. Habibie menolak. “Tidak, sampai matahari
terbenam anda harus menyerahkan semua pasukan!” Dari sini kembali
terlihat, untuk kedua kalinya Prabowo dikalahkan oleh lobi dan
pendekatan Wiranto. Kelak, Wiranto sendiri mengakui bahwa ada
kemungkinan informasi yang diberikan diterima secara salah oleh Habibie.
Namun kesalahpahaman apapun itu, Prabowo sudah terlanjur menjadi pihak
yang dirugikan. Hancurlah karir militer yang begitu gilang gemilang.
Kita
tidak pernah tahu apakah baik Soeharto maupun Habibie sama-sama salah
mengartikan informasi yang disampaikan Wiranto, atau memang ada
kesengajaan melakukan miss-informasi terhadap Prabowo mengingat
persaingan internal ABRI saat itu. Demikian akhir tulisan singkat
mengenai Sang Jenderal Terbuang. Semoga menambah wawasan dan menjadi
pelajaran bagi kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar